Cari Blog ketik disini

Selasa, 10 Juli 2012

Corporate Social Responsibility (CSR) Etika ataukah Kewajiban di Mata Hukum?

Pada tahun 2007 telah terjadi perubahan signifikan terkait dengan pengaturan tanggung jawab sosial untuk semua perusahaan (Corporate Social Responsibility), semula pengaturannya adalah moral yang tidak mengikat secara hukum (suka rela), sekarang merupakan suatu kewajiban hukum bagi perusahaan. hal tersebut tertuang dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang perseroan terbatas (UUPT) yang mewajibkan untuk seluruh perusahaan yang ada di indonesia untuk melaksanakannya, jika tidak dilaksanakan akan dapat dikenakan sanksi yang tegas dalam hukum.

Pengertian utama Corporate social responsibility (CSR) digambarkan sebagai suatu konsep bahwa perusahaan mengintegrasikan permasalahan sosial dan lingkungan dalam kegiatan usaha atau kegiatan perusahaan serta interaksi pada semua stakeholder dengan dasar kerelaan , bertanggung jawab secara sosial dan hukum, ini berarti perusahaan tidak saja memenuhi legal expectations namun juga pemenuhan dan investasi pada sumber daya manusia, yaitu hubungan dengan lingkungan dan juga dengan para stakeholder. Perusahaan selain dituntut untuk taat hukum juga dituntut untuk beretika dalam prilaku melakukan praktek usaha atau kegiatannya.

Penerapan tanggung jawab perusahaan atau Corporate social responsibility (CSR) dalam pengelolaan sumber daya alam menjadi sangat penting untuk menjamin aktivitas perusahaan untuk tidak merugikan hak asasi manusia (HAM) masyarakat yang berada disekitar wilayah atau areal operasional perusahaan terutama pada areal publik seperti Hutan dan sungai. Secara umum pemanfaatan sumber daya alam khususnya pengelolaan hutan alam oleh perusahaan perkebunan dapat merubah struktur dari sumber daya alam tersebut. Awalnya sumber daya alam yang beragam (Hayati dan non hayati) atau multikultur diganti dengan tumbuhan sejenis atau monokultur (seperti Akasia, Kelapa Sawit dan lain-lain) serta terganggunya ekosistem lainnya.

WILAYAH ADAT ANTARA KENYATAAN DAN HARAPAN

Sudah 53 tahun usia Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960. Namun selama kurun waktu itu pula persoalan sengketa tanah mengenai hak Milik dan hak kelola tak kunjung reda sampai saat ini. Penyebab terjadinya konflik di bidang pertanahan di indonesia antara lain keterbatasan ketersediaan tanah pada suatu wilayah yang berkonflik, tumpang tindih hak milik tanah maupun hak atas pengelolaan tanah, ketimpangan dalam struktur penguasaan tanah, inkonsistensi negara dan ketidaksinkronisasian baik secara vertikal maupun secara horizontal peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan hak pengelolaan tanah, praktek-praktek manipulasi dalam perolehan hak milik tanah dan hak kelola tanah sehingga pada masa lalu dan di era reformasi sekarang ini muncul kembali gugatan atas hak milik dan hak kelola atas tanah, dualisme kewenangan (pusat-daerah) tentang urusan pertanahan serta ketidakjelasan mengenai kedudukan hak ulayat dan masyarakat hukum adat dalam sistem perundang-undangan agraria.
Di satu pihak masyarakat masih tetap menggunakan hukum adat sebagai sandaran peraturan pertanahan dan diakui oleh komunitasnya, akan tetapi di lain pihak, hukum agraria nasional belum sepenuhnya mengakui validitas hukum adat tersebut secara nasional. Strategi pembangunan hukum agraria nasional dapat menampung aspirasi masyarakat hukum adat.
Tanah bagi manusia tidak ada habis-habisnya karena mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan manusia, sebab tanah bukan saja sebagai tempat tinggal juga sebagai tempat bertani, berladang, lalu lintas dan pada akhirnya untuk tempat manusia dikuburkan.

Definisi dari hak ulayat disini adalah suatu sifat komunaltistik yang menunjuk adanya hak bersama oleh para anggota masyarakat hukum adat atas suatu tanah tertentu. Dalam pelaksanaannya, kelompok tersebut bisa merupakan masyarakat hukum adat yang teritorial (Desa, Marga magari, hutan) bisa juga merupakan masyarakat hukum adat geneologik atau keluarga, seperti suku.
Para warga sebagai anggota kelompok, masing-masing mempunyai hak untuk menguasai dan menggunakan sebagian tanah bersama tersebut guna memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya, namun tidak ada kewajiban untuk menguasai dan menggunakannya secara kolektif. Oleh karena itu penguasaan tanahnya dirumuskan dengan sifat individual.

Dalam pada itu, hak individual tersebut bukanlah bersifat pribadi, semata-mata, di dasari, bahwa yang dikuasai dan digunakan itu adalah sebagian dari tanah bersama. Oleh karena itu dalam penggunaannya tidak boleh hanya berpedoman pada kepentingan pribadi semata-mata, melainkan juga harus diingat akan kepentingan bersama, yaitu kepentingan kelompok, maka sifat penguasaan yang demikian itu pada dirinya mengandung apa yang disebut dengan unsur kebersamaan. 
Oleh sebab itu, hak bersama yang merupakan hak ulayat itu bukan hak milik dalam arti yuridis, akan tetapi merupakan hak kepunyaan bersama, maka dalam rangka hak ulayat dimungkinkan adanya hak milik atas tanah yang dikuasai pribadi oleh para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Kedudukan Hak Ulayat dalam UUPA
Pada dasarnya hak ulayat keberadaannya dalam UUPA adalah sudah diakui, akan tetapi pengakuan tersebut masih diikuti oleh syarat-syarat tertentu, yaitu: “eksistensi” dan mengenai pelaksananya. Oleh karena itu, hak ulayat dapat diakui sepanjang menurut kenyataan masih ada. Maksudnya adalah apabila di daerah-daerah dimana hak itu tidak ada lagi, maka tidak akan dihidupkan kembali.

Pelaksanaan tentang hak ulayat dalam UUPA diatur di dalam pasal 3 yang berbunyi sebagai berikut : “Pelaksanaan hak ulayat harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Sesuai dengan apa yang diterangkan dalam penjelasan umum (Angka H/3) disini ditegaskan pula bahwa kepentingan sesuatu masyarakat harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara yang lebih tinggi dan lebih luas". 

Oleh sebab itu, pelaksanaan hak ulayat secara mutlak, yaitu seakan-akan anggota-anggota masyarakat iu sendirilah yang berhak atas tanah wilayahnya itu, dan seakan hanya di peruntukan masyarakat hukum adat itu sendiri. Maka sikap yang demikianlah yang oleh UUPA dianggap bertentangan, hal ini sesuai dengan asas-asas yang tercantum dalam pasal 1 dan 2. 
Dalam UUPA dan hukum tanah nasional, bahwasanya hak ulayat tidak di hapus, tetapi juga tidak akan mengaturnya, dalam artian adalah mengatur hak ulayat dapat berakibat melanggengkan atau melestarikan eksistensinya. Karena pada dasarnya hak ulayat hapus dengan sendirinya melalui proses alamiah, yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan (uraian 85 dan 106 E). 

Tanah-Tanah Ulayat
Disini terlihat sifat religius hubungan hukum antara para warga masyarakat hukum adat bersama dengan tanah ulayatnya. Adapaun tanah ulayat atau tanah bersama yang dalam hal ini oleh kelompok di bawah pimpinan kepala adat masyarakat hukum adat, misalnya adalah hutan, tanah lapang, dan lain sebagainya. Tanah untuk pasar, penggembalaan, tanah pusako, dan lain-lain yang pada intinya adalah demi keperluan bersama yang tidak diperjual belikan kepada orang diluar komunitas masyarakat hukum adat.

Hirarki Hak Atas Tanah di Indonesia:
1. Hak Bangsa (Pasal 1 UUPA);
a.    Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. (Ayat 1).
b.    Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional (Ayat 2).
c.    Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termaksud dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi (Ayat 3)
2. Hak Menguasai dari Negara (Pasal 2 ayat (1));
Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
3. Hak Ulayat (Pasal 2 ayat (4));
Pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra (Otonomi) dan masyarakat-masyarakat hukum adat, serta sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
4. Hak-hak perorangan* (Pasal 16 Ayat 1 UUPA);
a. Hak Milik.
b. Hak Guna Usaha,
c. Hak Guna Bangunan,
d. Hak Pakai,
e. Hak Sewa,
f. Hak Membuka Tanah,
g. Hak Memungut Hasil Hutan,
h. Hak lain yang ditetapkan UU dan yang bersifat sementara sesuai pasal 53.

HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA KENYATAAN YANG SEMU

Hak asasi manusia (HAM) diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999. Secara tulisan undang-undang ini sungguh sempurna namun secara penerapannya masih belum maksimal. Hampir diseluruh wilayah indonesia diindikasikan terjadi banyak pelanggaran HAM. Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak sengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketaqwaan dan penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia, oleh pencipta-Nya dianugerahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya. Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dihormati, dipertahankan, dijunjung tinggi, dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah serta tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.  

Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi  serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.

Dalam Pasal 71 UU No. 39 Thaun 1999, Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan  memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang, peraturan perundang- undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia. Kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya pertahanan keamanan negara, dan bidang lain.