Sudah 53 tahun usia Undang-undang Pokok Agraria
(UUPA) No 5 Tahun 1960. Namun selama kurun waktu itu pula persoalan sengketa
tanah mengenai hak Milik dan hak kelola tak kunjung reda sampai saat ini. Penyebab
terjadinya konflik di bidang pertanahan di indonesia antara lain keterbatasan
ketersediaan tanah pada suatu wilayah yang berkonflik, tumpang tindih hak milik
tanah maupun hak atas pengelolaan tanah, ketimpangan dalam struktur penguasaan
tanah, inkonsistensi negara dan ketidaksinkronisasian baik secara vertikal
maupun secara horizontal peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan
hak pengelolaan tanah, praktek-praktek manipulasi dalam perolehan hak milik tanah
dan hak kelola tanah sehingga pada masa lalu dan di era reformasi sekarang ini muncul
kembali gugatan atas hak milik dan hak kelola atas tanah, dualisme kewenangan
(pusat-daerah) tentang urusan pertanahan serta ketidakjelasan mengenai
kedudukan hak ulayat dan masyarakat hukum adat dalam sistem perundang-undangan
agraria.
Di satu pihak masyarakat masih tetap menggunakan hukum adat sebagai
sandaran peraturan pertanahan dan diakui oleh komunitasnya, akan tetapi di lain
pihak, hukum agraria nasional belum sepenuhnya mengakui validitas hukum adat
tersebut secara nasional. Strategi pembangunan hukum agraria
nasional dapat menampung aspirasi masyarakat hukum adat.
Tanah bagi manusia tidak ada habis-habisnya karena
mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan manusia, sebab tanah bukan
saja sebagai tempat tinggal juga sebagai tempat bertani, berladang, lalu lintas
dan pada akhirnya untuk tempat manusia dikuburkan.
Definisi dari hak ulayat disini adalah suatu sifat komunaltistik yang
menunjuk adanya hak bersama oleh para anggota masyarakat hukum adat atas suatu
tanah tertentu. Dalam pelaksanaannya, kelompok tersebut bisa merupakan
masyarakat hukum adat yang teritorial (Desa, Marga magari, hutan) bisa juga
merupakan masyarakat hukum adat geneologik atau keluarga, seperti suku.
Para warga sebagai anggota kelompok,
masing-masing mempunyai hak untuk menguasai dan menggunakan sebagian tanah
bersama tersebut guna memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya, namun tidak
ada kewajiban untuk menguasai dan menggunakannya secara kolektif. Oleh karena
itu penguasaan tanahnya dirumuskan dengan sifat individual.
Dalam pada itu, hak individual
tersebut bukanlah bersifat pribadi, semata-mata, di dasari, bahwa yang dikuasai
dan digunakan itu adalah sebagian dari tanah bersama. Oleh karena itu dalam
penggunaannya tidak boleh hanya berpedoman pada kepentingan pribadi
semata-mata, melainkan juga harus diingat akan kepentingan bersama, yaitu
kepentingan kelompok, maka sifat penguasaan yang demikian itu pada dirinya
mengandung apa yang disebut dengan unsur kebersamaan.
Oleh sebab itu, hak bersama yang
merupakan hak ulayat itu bukan hak milik dalam arti yuridis, akan tetapi
merupakan hak kepunyaan bersama, maka dalam rangka hak ulayat dimungkinkan
adanya hak milik atas tanah yang dikuasai pribadi oleh para warga masyarakat
hukum adat yang bersangkutan.
Kedudukan
Hak Ulayat dalam UUPA
Pada dasarnya hak ulayat
keberadaannya dalam UUPA adalah sudah diakui, akan tetapi pengakuan tersebut
masih diikuti oleh syarat-syarat tertentu, yaitu: “eksistensi” dan mengenai
pelaksananya. Oleh karena itu, hak ulayat dapat diakui sepanjang menurut
kenyataan masih ada. Maksudnya adalah apabila di daerah-daerah dimana hak itu
tidak ada lagi, maka tidak akan dihidupkan kembali.
Pelaksanaan tentang hak ulayat dalam
UUPA diatur di dalam pasal 3 yang berbunyi sebagai berikut : “Pelaksanaan
hak ulayat harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional
dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak bertentangan
dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Sesuai
dengan apa yang diterangkan dalam penjelasan umum (Angka H/3) disini ditegaskan
pula bahwa kepentingan sesuatu masyarakat harus tunduk pada kepentingan
nasional dan negara yang lebih tinggi dan lebih luas".
Oleh sebab itu, pelaksanaan hak
ulayat secara mutlak, yaitu seakan-akan anggota-anggota masyarakat iu
sendirilah yang berhak atas tanah wilayahnya itu, dan seakan hanya di
peruntukan masyarakat hukum adat itu sendiri. Maka sikap yang demikianlah yang
oleh UUPA dianggap bertentangan, hal ini sesuai dengan asas-asas yang tercantum
dalam pasal 1 dan 2.
Dalam UUPA dan hukum tanah nasional,
bahwasanya hak ulayat tidak di hapus, tetapi juga tidak akan mengaturnya, dalam
artian adalah mengatur hak ulayat dapat berakibat melanggengkan atau
melestarikan eksistensinya. Karena pada dasarnya hak ulayat hapus dengan
sendirinya melalui proses alamiah, yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak
perorangan dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan (uraian 85 dan 106
E).
Tanah-Tanah
Ulayat
Disini terlihat sifat religius
hubungan hukum antara para warga masyarakat hukum adat bersama dengan tanah
ulayatnya. Adapaun tanah ulayat atau tanah bersama yang dalam hal ini oleh
kelompok di bawah pimpinan kepala adat masyarakat hukum adat, misalnya adalah
hutan, tanah lapang, dan lain sebagainya. Tanah untuk pasar, penggembalaan,
tanah pusako, dan lain-lain yang pada intinya adalah demi keperluan bersama
yang tidak diperjual belikan kepada orang diluar komunitas masyarakat hukum
adat.
Hirarki
Hak Atas Tanah di Indonesia:
1.
Hak Bangsa (Pasal 1 UUPA);
a.
Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan
tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
(Ayat 1).
b.
Seluruh bumi, air dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik
Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang
angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional (Ayat 2).
c.
Hubungan antara bangsa Indonesia dan
bumi, air serta ruang angkasa termaksud dalam ayat (2) pasal ini adalah
hubungan yang bersifat abadi (Ayat 3)
2.
Hak Menguasai dari Negara (Pasal 2 ayat (1));
Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat
(3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi,
air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu
pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat.
3.
Hak Ulayat (Pasal 2 ayat (4));
Pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada
daerah-daerah Swatantra (Otonomi) dan masyarakat-masyarakat hukum adat, serta sekedar
diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut
ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
4.
Hak-hak perorangan* (Pasal 16 Ayat 1 UUPA);
a.
Hak Milik.
b.
Hak Guna Usaha,
c.
Hak Guna Bangunan,
d.
Hak Pakai,
e.
Hak Sewa,
f.
Hak Membuka Tanah,
g.
Hak Memungut Hasil Hutan,
h.
Hak lain yang ditetapkan UU dan yang bersifat sementara sesuai pasal 53.