UUD 1945 sesungguhnya telah
menggariskan hukum dasar pengelolaan sumber daya alam dengan prinsip yang
sangat ideal. Pada Pasal 33 ayat 3 ditegaskan bahwa bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tetapi sayangnya dalam pengaturan dan
pelaksanaannya, hal yang lebih ditonjolkan adalah aspek menguasai oleh
negaranya sehingga mengedepanlah konsep Hak Menguasai oleh Negara. Konsep ini
dapat juga kita temui diantaranya dalam UU No.5/1960 tentang Agraria (UUPA) dan
lebih khusus menyangkut kehutanan dapat juga kita temui dalam UU No.5/1967
tentang Kehutanan.
Mari kita lihat dalam Peraturan Pemerintah Nomor
21 Tahun 1970 Tentang Hak pengusahaan hutan dan hak pemungutan hasil hutan,
dalam rangka Pelaksanaan Undang-undang No. 5 tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan. Lebih spesifik lagi bisa kita lihat pada Pasal
10 ayat (2) dimana isinya menegaskan bahwa “Luas areal hutan yang diberikan
sebagai areal kerja kepada Pemegang Hak sebagaimana dilukiskan pada peta
lampiran Surat Keputusan Hak Pengusahaan Hutan yang dikeluarkan Menteri
Pertanian sekaligus merupakan penetapan Kawasan Hutan”. Hampir sebagian besar wilayah Riau
dibebeni dengan Hak penguasaan hutan (HPH), Jika kita hayati kembali makna dari
Pasal 10 ayat (2) ini perintahnya adalah dengan diberikannya Hak Penguasaan Hutan
kepada pemegang Hak juga sekaligus HPH tersebut ditetapkan sebagai Kawasan
hutan.
Setelah Izin HPH habis masa waktunya dan tidak
diperpanjang oleh pemegang hak maka Kementrian Pertanian dan atau Kementrian
kehutanan menerbitkan izin baru (HTI dan Perkebunan Sawit) pada areal HPH
tersebut dimana Areal tersebut adalah kawasan hutan.
Puncak permasalahan terkait dengan kebijakan atas status kawasan hutan yang kemudian memberikan pengaruh
sosial, politik dan hukum di Indonesia adalah ketika Tata Guna Hutan
Kesepakatan (TGHK) melalui SK Mentan No.680/Kpts/Um/8/1981 tantang Pedoman
Penatagunaan Hutan Kesepakatan, Penetapan sepihak inilah yang kemudian menjadi
pangkal bala berkepanjangan.
Jika kita melihat Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor :
173/kpts-II/1986 (TGHK) tentang penunjukan area hutan di wilayah Provinsi Riau,
di perbaharui pada tahun 2011 dengan keluarnya SK. 7651/Menhut-VII/KUH/2011
tentang Kawasan Hutan Provinsi Riau dan kemudian saat ini sudah keluar SK.
673/Menhut-II/2014 tentang perubahan peruntukan kawasan hutan yang masih
mengantung karena tarek ulur kepentingan, mari kita lihat dalam SK. 173/kpts-II/1986
pada butir ketiga yang berbunyi : memerintahkan kepala badan Inventarisasi dan
tata guna hutan untuk melaksanakan pengukuran dan penataan batas kawasan hutan
tersebut dilapangan. “ padahal perintah tersebut sudah dikeluarkan tahun 1986
sampai sekarang belum dilaksanakan pada sebagian besar kawasan hutan di
Provinsi Riau. Inilah awal mula kehancuran kawasan hutan di Provinsi Riau.
Permasalahan status kawasan hutan di Provinsi Riau ini tidak pernah memberikan
kepastian hukum yang mengikat, adanya putusan MK/2011. Dimana Mahkamah
Konstitusi menyatakan, bahwa “ditunjuk dan atau” yang ada di dalam Pasal 1 angka
3 UU No. 41/1999 bertentangan dengan konstitusi. Dengan kata lain perubahan
Pasal 1 angka 3 UU No. 41/1999 dari:
”Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan
oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.”
Menjadi:
”Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah
untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.”
Setelah ditetapkan tentu tugas pemerintah tidak selesai sampai disitu saja,
pengawasan adalah hal yang terpenting guna menjaga kawasan hutan agar tetap
lestari.
Saat ini untuk status kawasan Konservasi
di provinsi Riau yang sudah di kukuhkan adalah :
1. SM Bukit
Batu luas lahan 21.500 Ha, sudah dikukuhkan SK Menthutbun No.482/Kpts-II/1999
tanggal 29 juni 1999.
2.
SM Tasik Belat luas lahan 2.529 Ha, sudah dikukuhkan
SK Menhutbun No.480/Kpts-II/1999 tanggal 29 juni 1999.
3. SM Danau Pulau Besar / Danau Bawah luas lahan
28.237,95, sudah dikukuhkan SK Menhutbun No.668/Kpts-II/1999 tanggal 26 Agustus
1999.
4. SM Tanjung Padang luas lahan 4.925, sudah dikukuhkan
SK menhutbun No. 349/Kpts-II/1999 tanggal 26 Mei 1999.
5. Hutan Wisata / Taman Wisata Alam Muka Kuning, luas
lahan 2.065,62 sudah dikukuhkan SK Menhut No. 427/Kpts-II/1992 tanggal 5 Mei
1992.
6.
Hutan Wisata / Taman Wisata Alam Sungai Dumai, luas
lahan 4.712,5 sudah dikukuhkan SK Menhut No. 154/Kpts-II/1990 tanggal 10 April
1990 (Sumber Besar KSDA Riau).
Inilah
daftar tata batas kawasan Konservasi di Wilayah Provinsi Riau yang baru statusnya
Penunjukan:
1. SM Kerumutan luas lahan 120.000 Ha
1. SM Kerumutan luas lahan 120.000 Ha
2. SM Balai
Raja luas lahan 18.000 Ha
3. SM Tasik
Besar luas lahan 3.200 Ha
4. SM Tasik
Sarang Burung luas lahan 6.900 Ha
5. SM Bukit
Rimbang – Bukit Baling luas lahan 136.000 Ha
6. SM Giak
Kecil luas lahan 84.967,44 Ha
7. Pusat
Latihan gajah Bersama luas lahan 5.873 Ha
8. CA Bukit
Bungkuk luas lahan 20.000 Ha
9. Ca Pulau
Berkey luas lahan 559,6 Ha
10. TB Pulau
Rempang luas lahan 16.000 Ha