Cari Blog ketik disini

Kamis, 19 Juli 2012

Sumber Daya Alam, Tanggung Jawab Moral Menuju Tanggung Jawab Hukum yang Berkeadilan Sosial

Selama 15 tahun belakangan ini Pemerintah telah menerbitkan bermacam-macam undang-undang yang terus diperbaharui untuk menunjang liberalisasi pengelolaan  sumber daya alam dan energi. Pengingkaran terhadap UUPA justru datang dari wakil rakyat yang berupaya merevisi UUPA dan mengeluarkan perundang-undangan dengan semangat liberalisme yang tidak senafas dengan UUPA. Mulai dari UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air, UU No. 18/2004 tentang Perkebunan, UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal, Dalam undang-undang ini tidak ada lagi pembedaan antara modal asing dan modal dalam negeri. UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, hingga UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. UU No. 22/2001 tentang migas yang pada prinsipnya menurunkan peran badan usaha milik negara (BUMN) dalam mengelola sumber daya energi dan UU No. 30/2009 tentang tenaga kelistrikan. 

Konsekuensinya adalah 88,8% Pertambangan migas dikuasai oleh asing (Syeirazi,2012), sedangkan pemerintah indonesia hanya dapat royalty yang tentu nilainya sangat kecil jika dibandingkan dengan nilai yang diperoleh Investor/Perusahaan asing. Sebagai contoh berdasarkan peraturan pemerintah (PP) No.45 tahun 2003 PT. Freeport hanya diwajibkan membayar royalty sebesar 3,75 % dan jumlah yang dibayarkan kepemerintah pun hanya sebesar 1 % (Dhany,2012). Begitu juga dengan batu bara, royalty nya hanya sebesar 13,50 % dan berdasarkan data ICW tahun 2008 tunggakan royalty batu bara mencapai angka Rp. 16,482 T.
Perusahaan-perusahaan asing juga telah merugikan negara melalui pembebanan cost recovery, data dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan  menunjukan dari tahun 2000-2008 potensi kerugian negara akibat pembebanan cost recovery sektor migas yang tak tepat mencapai Rp. 345,996 triliun. Dalam 8 tahun, rata-rata potensi kerugian negara mencapai Rp. 38.4 triliun per tahun atau Rp. 1,7 miliar tiap hari. Pada pemeriksaan semester II-2010, BPK kembali menemukan 17 kasus ketidaktepatan pembebanan cost recovery yang berpotensi merugikan negara sebesar 66,47 juta dollar AS (Syeirazi, 2012). Kasus korupsi chevron merugikan negara sebesar 23 juta dolar AS atau sekitar Rp. 210 miliar (Republika,2012).

Provinsi Riau adalah salah satu provinsi yang ada di indonesia kaya akan sumber daya alamnya. Didalam tanah dan diatas tanahnya terhampar kekayaan alam yang tak terhitung nilainya. Ada minyak bumi, batubara, timah dan berbagai bahan tambang lainnya terpendam didalam tanah Riau. Sementara diatasnya membentang hutan rawa gambut dengan segala potensi kayu yang sangat banyak dan berbagai biodiversity lainnya. Semenanjung Kampar merupakan salah satu hutan rawa gambut yang masih tersisa di Propinsi Riau.

Konsep keadilan sosial tertuang sepenuhnya dalam pembukaan undang-undang dasar 1945 yang bunyinya adalah:
“Pemerintah negara indonesia yang melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia dan untuk memajukan kesejahtraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”
Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) tanpa memperhatikan Hak Asasi Manusia (HAM) dapat merugikan hak ekonomi dan sosial (EkoSos) Masyarakat lokal. 

Kenapa penting melindungi hutan?
Kerusakan dan degradasi hutan menyebabkan perubahan iklim dengan dua cara:
  • Menggunduli dan membakar hutan hujan tropis akan melepaskan karbondioksida ke atmosfir.
  • Wilayah hutan yang berfungsi sebagai penyerap karbon bisa berkurang.
Peran kita sebagai khalifah di bumi ini dalam mengatur iklim sangatlah penting, jika kita terus menghancurkan hutan hujan tropis, maka kita akan kalah dalam memerangi perubahan iklim. Hutan adalah rumah bagi makhluk didunia. Ada jutaan binatang dan tumbuhan yang sangat bergantung pada hutan hujan tropis. Terlebih lagi, jutaan masyarakat asli hutan bergantung kepada hutan sebagai sumber kehidupan mereka.
 
Triminologi Fungsi Hutan Dalam Falsafah Masyarakat Melayu:
  • Hutan sebagai marwah
  • Hutan sebagai pembentukan budaya
  • Hutan sebagai nilai ekonomi
Dalam konteks HAM, perubahan struktur Sumber Daya Alam sejatinya menghilangkan hak ekonomi dan sosial (EkoSos) masyarakat lokal. Bagi masyarakat lokal yang hidup dengan budaya subsistensi, perubahan struktur sumber daya alam dapat menutup akses masyarakat lokal untuk memperoleh dan menikmati kekayaan sumber daya alam seperti berburu, berladang, meramu , menikmati hasil-hasil alam seperti damar, madu, rotan dan buah-buahan yang ada di hutan.

Pada saat hak ekonomi dan sosial masyarakat lokal terganggu dan bahkan terancam hilang oleh aktivitas perusahaan maka tanpa disadari akan melahirkan sebuah konflik dalam pengelolaan sumber daya alam. Kondisi ini, menstimulasikan terjadinya resistensi dari masyarakat terhadap kehadiran perusahaan . Kebijakan tanpa kajian dan analisis serta Lemahnya akomodasi hukum dalam memahami kepentingan stakeholders menyebabkan terjadinya berbagai konflik ditanah air antara perusahaan dan masyarakat lokal bahkan telah menelan banyak korban baik dikalangan perusahaan maupun masyarakat lokal (Konflik Sumber Daya Alam). Saat ini MORATORIUM (dari Latin, morari yang berarti penundaan) adalah solusi yang BIJAK untuk semua persoalan konflik sumber daya alam diindonesia, moratorium ini diharapkan agar yang berkonflik bisa bermusyawarah dengan dukungan pemerintah indonesia untuk mencari jalan keluar yang baik bagi setiap stakeholder yang berkonflik. semoga kedepan indonesia terlepas dari konflik sumberdaya alam yang berkepanjangan ini dan kebijakan yang dibuat pemerintah berpihak sepenuhnya kepada rakyat. Bumi yang rapuh ini membutuhkan solusi dan tindakan nyata dari kita.