Cari Blog ketik disini

Selasa, 01 Januari 2013

KONFLIK SUMBER DAYA ALAM AKANKAH BERAKHIR?


Dalam konteks HAM, perubahan struktur Sumber Daya Alam sejatinya menghilangkan hak ekonomi dan sosial (EkoSos) masyarakat lokal. Bagi masyarakat lokal yang hidup dengan budaya subsistensi, perubahan struktur sumber daya alam dapat menutup akses masyarakat lokal untuk memperoleh dan menikmati kekayaan sumber daya alam seperti mencari ikan, berburu, berladang, bertani, meramu , menikmati hasil-hasil alam seperti  damar, madu, rotan dan buah-buahan yang ada di hutan.

Pada saat hak ekonomi dan sosial masyarakat lokal terganggu dan bahkan terancam hilang oleh aktivitas perusahaan maka tanpa disadari akan melahirkan sebuah  konflik dalam pengelolaan sumber daya alam. Kondisi ini, menstimulasikan terjadinya resistensi dari masyarakat terhadap kehadiran perusahaan.

Kebijakan tata usaha negara yang dikeluarkan oleh pejabat Tata usaha negara (pemerintah indonesia) dalam bentuk perizinan yang diberikan kepada perusahaan untuk mengelola sumber daya alam pada suatu kawasan tanpa ada kajian dan analisis yang baik dan benar serta Lemahnya akomodasi hukum sehingga berakibat terjadinya konflik hak pengelolaan sumber daya alam antara perusahaan asing dan masyarakat lokal, konflik sumberdaya alam ini bahkan telah menelan banyak korban baik dikalangan perusahaan sendiri maupun masyarakat.

Kepentingan stakeholders yang tidak disusun secara baik dan benar menyebabkan terjadinya berbagai konflik sumberdaya alam di Indonesia,
Penyebab Konflik Sumber daya alam Di indonesia Di Antaranya:
1.      Pemerintah Indonesia tidak memiliki kelengkapan data tapal batas dan Peta Administrasi wilayah sampai ke tingkat desa, sehingga status lahan atau kawasan menjadi tidak jelas, menyebabkan ketidakjelasan siapa yang berhak dalam mengelola sumber daya alam pada suatu kawasan tersebut.
2.      Meningkatnya jumlah Petani Indonesia atau Petani Asing yang bermodal besar  menguasai Lahan/Tanah dengan luas ratusan bahkan Ribuan hektar secara individu dengan topeng legalitas atau Izin dari Pemerintah Indonesia.
3.      Lemahnya Posisi masyarakat dan masyarakat adat terhadap hak kelola dan budaya tradisional yang positif dimata hukum karena penerapan asas domein verklaring (tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikan secara formal dianggap milik negara).

Eskalasi konflik agraria meningkat pasca pengesahan UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal, Dalam undang-undang ini tidak ada lagi pembedaan antara modal asing dan modal dalam negeri.

UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, UU No. 22/2001 tentang migas yang pada prinsipnya menurunkan peran badan usaha milik negara (BUMN) dalam mengelola sumber daya energi UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air, UU No. 18/2004 tentang Perkebunan, UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, hingga UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta UU No. 30/2009 tentang tenaga kelistrikan.

Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat telah terjadi konflik agraria sebanyak 618 konflik, menewaskan 44 orang, dengan cakupan areal sengketa 2.399.314,49 hektar serta melibatkan 731.342 keluarga. Pada tahun 2012 saja sudah terjadi 198 konflik agraria dengan jumlah korban rakyat mencapai 141.915 keluarga, dimana konflik agraria melibatkan Perusahaan Asing dan aparat negara selalu di hadapkan dengan rakyat, persoalan serupa selalu saja berulang, ini terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Seakan-akan bangsa ini tidak pernah belajar dari setiap kejadian. Celakanya rakyat kecil yang selalu menjadi korban dari ketidak cakapan pemerintah indonesia dalam menyelesaikan setiap persoalan konflik Sumber daya alam.

konflik agraria ini akan terus bermunculan di berbagai daerah di indonesia karena penyelesaian konflik tidak pernah menyentuh pada akar persoalannya. Sebagai contoh, kita bisa lihat konflik agraria di Mesuji pada akhir tahun 2011 yang lalu, hingga saat ini belum terselesaikan juga karena penyelesaian konfliknya hanya melihat di permukaan saja, Pemerintah Indonesia hanya melihat persoalan kekerasan, pelaku dan korban konflik saja, Tidak sampai menyentuh pada akar persoalannya yaitu Status dan Fungsi Lahan/Kawasan serta Hak Kelola Sumber Daya Alam tersebut. Makanya tidak mengherankan ketika tahun 2012 konflik agraria tetap saja menyala di Mesuji. Alangkah sia-sia rasanya ketika pemerintah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk tragedi Mesuji, dimana tim ini melihat  permasalahannya hanya pada permukaan saja, Tidak sampai menyentuh pada akar persoalannya. Lagi-lagi masyarakat kecil yang selalu terzalimi.

Awal tahun 2013 ini dapat memperpanjang kembali MORATORIUM yang akan habis dibulan mei 2013 ini, Moratorium serta menata kembali kebijakan Perizinan guna menyelesaikan semua persoalan konflik sumber daya alam yang ada di Indonesia adalah solusi yang BIJAK.
Hayoo Indonesia Bisa.......