Dalam
konteks HAM, perubahan struktur Sumber Daya Alam sejatinya menghilangkan hak
ekonomi dan sosial (EkoSos) masyarakat lokal. Bagi masyarakat lokal yang hidup
dengan budaya subsistensi, perubahan struktur sumber daya alam dapat menutup
akses masyarakat lokal untuk memperoleh dan menikmati kekayaan sumber daya alam
seperti mencari ikan, berburu, berladang, bertani, meramu , menikmati
hasil-hasil alam seperti damar, madu, rotan dan buah-buahan yang ada di
hutan.
Pada saat
hak ekonomi dan sosial masyarakat lokal terganggu dan bahkan terancam hilang
oleh aktivitas perusahaan maka tanpa disadari akan melahirkan sebuah
konflik dalam pengelolaan sumber daya alam. Kondisi ini, menstimulasikan
terjadinya resistensi dari masyarakat terhadap kehadiran perusahaan.
Kebijakan tata
usaha negara yang dikeluarkan oleh pejabat Tata usaha negara (pemerintah
indonesia) dalam bentuk perizinan yang diberikan kepada perusahaan untuk
mengelola sumber daya alam pada suatu kawasan tanpa ada kajian dan analisis yang
baik dan benar serta Lemahnya akomodasi hukum sehingga berakibat terjadinya
konflik hak pengelolaan sumber daya alam antara perusahaan asing dan masyarakat
lokal, konflik sumberdaya alam ini bahkan telah menelan banyak korban baik
dikalangan perusahaan sendiri maupun masyarakat.
Kepentingan
stakeholders yang tidak disusun secara baik dan benar menyebabkan terjadinya
berbagai konflik sumberdaya alam di Indonesia,
Penyebab Konflik Sumber daya alam Di
indonesia Di Antaranya:
1. Pemerintah
Indonesia tidak memiliki kelengkapan data tapal batas dan Peta Administrasi wilayah
sampai ke tingkat desa, sehingga status lahan atau kawasan menjadi tidak jelas,
menyebabkan ketidakjelasan siapa yang berhak dalam mengelola sumber daya alam
pada suatu kawasan tersebut.
2. Meningkatnya
jumlah Petani Indonesia atau Petani Asing yang bermodal besar menguasai
Lahan/Tanah dengan luas ratusan bahkan Ribuan hektar secara individu dengan
topeng legalitas atau Izin dari Pemerintah Indonesia.
3. Lemahnya Posisi
masyarakat dan masyarakat adat terhadap hak kelola dan budaya tradisional yang
positif dimata hukum karena penerapan asas domein verklaring (tanah yang
tidak dapat dibuktikan kepemilikan secara formal dianggap milik negara).
Eskalasi
konflik agraria meningkat pasca pengesahan UU No. 25/2007 tentang Penanaman
Modal, Dalam undang-undang ini tidak ada lagi pembedaan antara modal asing dan
modal dalam negeri.
UU
No. 41/1999 tentang Kehutanan, UU No. 22/2001 tentang migas yang pada
prinsipnya menurunkan peran badan usaha milik negara (BUMN) dalam mengelola
sumber daya energi UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air, UU No. 18/2004
tentang Perkebunan, UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil, hingga UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara serta UU No. 30/2009 tentang tenaga kelistrikan.
Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat telah terjadi konflik agraria
sebanyak 618 konflik, menewaskan 44 orang, dengan cakupan areal sengketa
2.399.314,49 hektar serta melibatkan 731.342 keluarga. Pada tahun 2012 saja
sudah terjadi 198 konflik agraria dengan jumlah korban rakyat mencapai 141.915
keluarga, dimana konflik agraria melibatkan Perusahaan Asing dan aparat negara
selalu di hadapkan dengan rakyat, persoalan serupa selalu saja berulang, ini
terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Seakan-akan bangsa ini tidak
pernah belajar dari setiap kejadian. Celakanya rakyat kecil yang selalu menjadi
korban dari ketidak cakapan pemerintah indonesia dalam menyelesaikan setiap
persoalan konflik Sumber daya alam.
konflik
agraria ini akan terus bermunculan di berbagai daerah di indonesia karena
penyelesaian konflik tidak pernah menyentuh pada akar persoalannya. Sebagai
contoh, kita bisa lihat konflik agraria di Mesuji pada akhir tahun 2011 yang
lalu, hingga saat ini belum terselesaikan juga karena penyelesaian konfliknya
hanya melihat di permukaan saja, Pemerintah Indonesia hanya melihat persoalan
kekerasan, pelaku dan korban konflik saja, Tidak sampai menyentuh pada akar
persoalannya yaitu Status dan Fungsi Lahan/Kawasan serta Hak Kelola Sumber Daya Alam
tersebut. Makanya tidak mengherankan ketika tahun 2012 konflik
agraria tetap saja menyala di Mesuji. Alangkah sia-sia rasanya ketika
pemerintah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk tragedi Mesuji,
dimana tim ini melihat permasalahannya
hanya pada permukaan saja, Tidak sampai menyentuh pada akar persoalannya. Lagi-lagi
masyarakat kecil yang selalu terzalimi.
Awal tahun
2013 ini dapat memperpanjang kembali MORATORIUM yang akan habis dibulan mei
2013 ini, Moratorium serta menata kembali kebijakan Perizinan guna
menyelesaikan semua persoalan konflik sumber daya alam yang ada di Indonesia adalah
solusi yang BIJAK.
Hayoo Indonesia
Bisa.......