Selama 15 tahun
belakangan ini Pemerintah telah menerbitkan bermacam-macam undang-undang yang
terus diperbaharui untuk menunjang liberalisasi pengelolaan sumber daya alam dan energi. Pengingkaran terhadap UUPA justru datang dari wakil rakyat yang berupaya merevisi
UUPA dan mengeluarkan perundang-undangan dengan semangat liberalisme yang tidak
senafas dengan UUPA. Mulai dari UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, UU No. 7/2004
tentang Sumber Daya Air, UU No. 18/2004 tentang Perkebunan, UU No. 25/2007
tentang Penanaman Modal, Dalam
undang-undang ini tidak ada lagi pembedaan antara modal asing dan modal dalam
negeri. UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil, hingga UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara. UU No. 22/2001 tentang migas yang
pada prinsipnya menurunkan peran badan usaha milik negara (BUMN) dalam
mengelola sumber daya energi dan UU No. 30/2009 tentang tenaga kelistrikan.
Konsekuensinya
adalah 88,8% Pertambangan migas dikuasai oleh asing (Syeirazi,2012), sedangkan pemerintah
indonesia hanya dapat royalty yang tentu nilainya sangat kecil jika dibandingkan
dengan nilai yang diperoleh Investor/Perusahaan asing. Sebagai contoh
berdasarkan peraturan pemerintah (PP) No.45 tahun 2003 PT. Freeport hanya
diwajibkan membayar royalty sebesar 3,75 % dan jumlah yang dibayarkan
kepemerintah pun hanya sebesar 1 % (Dhany,2012). Begitu juga dengan batu bara,
royalty nya hanya sebesar 13,50 % dan berdasarkan data ICW tahun 2008 tunggakan
royalty batu bara mencapai angka Rp. 16,482 T.
Perusahaan-perusahaan
asing juga telah merugikan negara melalui pembebanan cost recovery, data dari
hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan
menunjukan dari tahun 2000-2008 potensi kerugian negara akibat
pembebanan cost recovery sektor migas yang tak tepat mencapai Rp. 345,996
triliun. Dalam 8 tahun, rata-rata potensi kerugian negara mencapai Rp. 38.4
triliun per tahun atau Rp. 1,7 miliar tiap hari. Pada pemeriksaan semester
II-2010, BPK kembali menemukan 17 kasus ketidaktepatan pembebanan cost recovery
yang berpotensi merugikan negara sebesar 66,47 juta dollar AS (Syeirazi, 2012).
Kasus korupsi chevron merugikan negara sebesar 23 juta dolar AS atau sekitar
Rp. 210 miliar (Republika,2012).
Provinsi
Riau adalah salah satu provinsi yang ada di indonesia kaya akan sumber daya
alamnya. Didalam tanah dan diatas tanahnya terhampar kekayaan alam yang tak
terhitung nilainya. Ada minyak bumi, batubara, timah dan berbagai bahan tambang
lainnya terpendam didalam tanah Riau. Sementara diatasnya membentang hutan rawa
gambut dengan segala potensi kayu yang sangat banyak dan berbagai biodiversity
lainnya. Semenanjung Kampar merupakan salah satu hutan rawa gambut yang masih
tersisa di Propinsi Riau.
Konsep
keadilan sosial tertuang sepenuhnya dalam pembukaan undang-undang dasar 1945 yang
bunyinya adalah:
“Pemerintah
negara indonesia yang melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah
darah indonesia dan untuk memajukan kesejahtraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial”
Pengelolaan
Sumber Daya Alam (SDA) tanpa memperhatikan Hak Asasi Manusia (HAM) dapat
merugikan hak ekonomi dan sosial (EkoSos) Masyarakat lokal.
Kenapa
penting melindungi hutan?
Kerusakan dan degradasi hutan menyebabkan perubahan
iklim dengan dua cara:
- Menggunduli dan membakar hutan hujan tropis akan melepaskan karbondioksida ke atmosfir.
- Wilayah hutan yang berfungsi sebagai penyerap karbon bisa berkurang.
Peran kita sebagai khalifah di bumi ini dalam
mengatur iklim sangatlah penting, jika kita terus menghancurkan hutan hujan tropis,
maka kita akan kalah dalam memerangi perubahan iklim. Hutan adalah rumah bagi
makhluk didunia. Ada jutaan binatang dan tumbuhan yang sangat bergantung pada
hutan hujan tropis. Terlebih lagi, jutaan masyarakat asli hutan bergantung
kepada hutan sebagai sumber kehidupan mereka.
Dalam buku tokoh melayu Riau Bapak Tenas ada Triminologi Fungsi Hutan Dalam falsafah
masyarakat melayu:
- Hutan sebagai marwah
- Hutan sebagai pembentukan budaya
- Hutan sebagai nilai ekonomi
Dalam
konteks HAM, perubahan struktur Sumber Daya Alam sejatinya menghilangkan hak
ekonomi dan sosial (EkoSos) masyarakat lokal. Bagi masyarakat lokal yang hidup
dengan budaya subsistensi, perubahan struktur sumber daya alam dapat menutup
akses masyarakat lokal untuk memperoleh dan menikmati kekayaan sumber daya alam
seperti berburu, berladang, meramu , menikmati hasil-hasil alam seperti damar, madu, rotan dan buah-buahan yang ada
di hutan.
Pada
saat hak ekonomi dan sosial masyarakat lokal terganggu dan bahkan terancam
hilang oleh aktivitas perusahaan maka tanpa disadari akan melahirkan
sebuah konflik dalam pengelolaan sumber
daya alam. Kondisi ini, menstimulasikan terjadinya resistensi dari masyarakat
terhadap kehadiran perusahaan . Kebijakan tanpa kajian dan analisis serta
Lemahnya akomodasi hukum dalam memahami kepentingan stakeholders menyebabkan
terjadinya berbagai konflik ditanah air antara perusahaan dan masyarakat lokal
bahkan telah menelan banyak korban baik dikalangan perusahaan maupun masyarakat
lokal (Konflik Sumber Daya Alam). Saat ini MORATORIUM (dari Latin, morari yang berarti penundaan) adalah solusi yang BIJAK untuk
semua persoalan konflik sumber daya alam diindonesia, moratorium ini diharapkan
agar yang berkonflik bisa bermusyawarah dengan dukungan pemerintah indonesia untuk
mencari jalan keluar yang baik bagi setiap stakeholder yang berkonflik. semoga
kedepan indonesia terlepas dari konflik sumberdaya alam yang berkepanjangan ini
dan kebijakan yang dibuat pemerintah berpihak sepenuhnya kepada rakyat. Bumi
yang rapuh ini membutuhkan solusi dan tindakan nyata dari kita.