Dalam
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No: P.43/Menhut-II/2013
dalam pasal 1 ayat (17), Penataan batas adalah kegiatan yang meliputi
pembuatan rintis batas, pemasangan pal batas, pengukuran batas,
pembuatan dan penandatanganan berita acara hasil pelaksanaan penataan
batas. Dalam ayat (21) Peta Penataan Batas adalah peta yang
menggambarkan posisi pal-pal batas yang telah dipasang di lapangan yang
merupakan lampiran Berita Acara Penataan Batas.
Kemudian dalam
pasal 5 Ayat (1) Pemegang izin pemanfaatan hutan, pemegang persetujuan
prinsip penggunaan kawasan hutan, pemegang persetujuan prinsip pelepasan
kawasan hutan atau pengelola kawasan hutan wajib melaksanakan penataan
batas paling lambat 1 (satu) tahun sejak diberikan izin pemanfaatan
hutan, persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan, persetujuan prinsip
pelepasan kawasan hutan dan/atau pengelolaan kawasan hutan. Ayat (2)
Penataan batas areal kerja dilakukan melalui tahapan:
a. Pembuatan rencana penataan batas dan peta kerja;
b. Pembuatan instruksi kerja penataan batas ;
c. Pengukuran batas dan pemasangan tanda batas;
d. Pemetaan hasil penataan batas;
e. Pembuatan dan penandatanganan berita acara dan peta hasil tata batas;
f. Pelaporan kepada Menteri.
a. Pembuatan rencana penataan batas dan peta kerja;
b. Pembuatan instruksi kerja penataan batas ;
c. Pengukuran batas dan pemasangan tanda batas;
d. Pemetaan hasil penataan batas;
e. Pembuatan dan penandatanganan berita acara dan peta hasil tata batas;
f. Pelaporan kepada Menteri.
Dalam pasal 26 ayat (1) Pemegang izin pemanfaatan hutan, pemegang izin
pinjam pakai kawasan hutan atau pengelola KPH dan KHDTK menyampaikan
laporan hasil pelaksanaan pemeliharaan dan pengamanan batas areal kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 setiap 1 (satu) tahun kepada Kepala
Balai Pemantapan Kawasan Hutan.
Ayat (2) Terhadap pal batas areal kerja yang tidak dapat dikenali lagi di lapangan, pemegang izin pemanfaat an hutan, pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan atau pengelola KPH dan KHDTK dapat mengajukan usulan pelaksanaan orientasi dan rekonstruksi batas areal kerja kepada Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan.
Ayat (3) Orientasi dan rekonstruksi batas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh pemegang izin pemanfaatan hutan, pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan atau pengelola KPH dan KHDTK dengan pengawasan oleh Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan.
Ayat (2) Terhadap pal batas areal kerja yang tidak dapat dikenali lagi di lapangan, pemegang izin pemanfaat an hutan, pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan atau pengelola KPH dan KHDTK dapat mengajukan usulan pelaksanaan orientasi dan rekonstruksi batas areal kerja kepada Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan.
Ayat (3) Orientasi dan rekonstruksi batas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh pemegang izin pemanfaatan hutan, pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan atau pengelola KPH dan KHDTK dengan pengawasan oleh Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan.
Perusahaan HTI harus berjalan sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang
berlaku, secara legal pemegang izin hutan tanaman industri mengklaim
berhak atas area tersebut karena telah memperoleh izin dari pemerintah,
sementara itu masyarakat juga mengklaim berhak atas area yang sama di
dengan alasan telah lama secara tradisional mengolah lahan diareal yang
sudah dibebani izin tersebut. Tumpang tindih lahan muncul dikarenakan
adanya Perbedaan penafsiran tata batas antara areal hutan tanaman
industri dengan lahan masyarakat yang berada didalam area hutan tanaman
industri tersebut, hal inilah yang sering menjadi pemicu konflik.
Tumpang tindih lahan karena adanya perbedaan penafsiran tata batas ini
terjadi dibanyak tempat,
Bagaimanakah Implementasi Penataan Batas
berdasarkan Undang-Undang Kehutanan dan Peraturan Menteri lingkungan
Hidup dan Kehutanan jika dilihat untuk seluruh areal Hutan Tanaman
Industri di Indonesia?