Cari Blog ketik disini

Rabu, 25 Januari 2023

Melihat Kompensasi Untuk Korban Bencana Asap di Indonesia, Mitos atau kah Fakta?

Bencana asap hampir tiap tahun terjadi di Indonesia, yang paling berkesan adalah bencana asap yang terjadi pada tahun 2015 dan tahun 2019, karena sangat berdampak pada kesehatan bahkan ada yang sampai meninggal dunia, serta menimbulkan berbagai kerugian baik materil maupun non materil.

Bencana asap yang terjadi pada Tahun 2015 yang lalu, dari hasil penelusuran secara online, benar ada wacana dari Pemerintah Indonesia yaitu dari Kementerian Sosial, yang akan memberikan bantuan dana jaminan hidup (Jadup) sebesar Rp10 ribu dikali 90 hari (3 Bulan) = Rp. 900.000,- untuk korban bencana asap yang ada di 6 provinsi yang terdampak bencana kabut asap yaitu: Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, serta Kalimantan Timur.  Rencana bantuan dana jaminan hidup (Jadup) ini tidak terealisasi dikarenakan Kementerian Keuangan tidak menyetujui dan tidak mencairkan dana tersebut. 


Selain itu warga yang meninggal dunia sebagai korban bencana asap di beri berupa Bantuan Santunan Kematian (BSK) sebesar Rp 15 juta dari kementerian Sosial, Total keseluruhannya ada 12 orang yang mendapat santunan transfer tunai oleh Kementerian Sosial,  4 orang berasal dari Kalimantan Tengah dan 8 orang berasal dari Sumatera (Riau, Jambi dan Palembang).

 

Jaminan hidup (Jadup) dan Bantuan Santunan Kematian (BSK) ini Bukan di kategorikan sebagai Kompensasi melainkan sebagai bentuk respon Pemerintah dalam penanggulangan bencana, (ini berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomar 10 Tahun 2020 Perubahan atas Peraturan Menteri Sosial Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Bantuan Langsung Berupa uang Tunai Bagi Korban Bencana). Sebagai Dasar Terbitnya Permensos Diatas adalah: Undang -Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2OO7 tentang Penanggulangan Bencana.

 

Undang-Undang Cipta Kerja di sahkan tahun 2020, kemudian dibuatlah Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2O2O Tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana Tahun 2O2O-2O44. Namun tidak ada ditemukan kompensasi kepada korban bencana asap sebagai bentuk pertanggung jawaban negara.

 

Bentuk dan mekanisme dari pertanggungjawaban negara terhadap masyarakat korban kebakaran hutan dan lahan juga tidak ditemukan dalam AATHP (Asean Agreement on Transboundary Haze Polution) namun di jelaskan pada hukum internasoinal yakni Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts yang diadopsi oleh International Law Commision. dimana Bentuk-bentuk pertanggungjawaban negara diatur dalam pasal-pasal Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts, berupa ganti rugi atau reparation yang diatur dalam Pasal 31, sedangkan bentuk-bentuk ganti rugi tersebut dapat berupa :

1) Restitution (Pasal 35): Kewajiban mengembalikan keadaan yang dirugikan seperti semula.

2) Compensation (Pasal 36) : Kewajiban ganti rugi berupa materi atau uang (bersifat keperdataan dan tidak dijelaskan secara rinci).

3) Satisfaction (Pasal 37): Permintaan maaf resmi.


Rabu, 23 November 2022

Kejahatan Peta Termasuk Akar Masalah Dari Konflik Sumber Daya Alam Di Indonesia

Kejahatan Peta Berawal dari Ketidak jelasan Defenisi dalam Aturan dan Tertutupnya Informasi serta Akses Publik atas Peta Perizinan Kegiatan Usaha di Seluruh Indonesia. 

Dalam konteks HAM, Perubahan struktur Sumber Daya Alam sejatinya menghilangkan Hak Ekonomi, Sosial (EkoSos) dan sumber penghidupan masyarakat tempatan. Bagi masyarakat yang mendiami suatu wilayah hidup dengan budaya subsistensi, Perubahan struktur sumber daya alam dapat menutup akses masyarakat lokal untuk memperoleh dan menikmati kekayaan sumber daya alam seperti mencari ikan, berburu, berladang, bertani, meramu, menikmati hasil-hasil alam seperti damar, madu, rotan dan buah-buahan yang ada di hutan.

Pada saat hak ekonomi dan sosial masyarakat lokal terganggu dan bahkan terancam hilang oleh aktivitas perusahaan maka tanpa disadari akan melahirkan sebuah konflik dalam pengelolaan sumber daya alam. Kondisi ini, menstimulasikan terjadinya resistensi dari masyarakat terhadap kehadiran perusahaan.

Kebijakan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara (Pemerintah Indonesia) dalam bentuk Perizinan yang diberikan kepada perusahaan untuk mengelola sumber daya alam pada suatu kawasan tanpa ada kajian dampak dan analisis yang baik dan proses yang benar serta lemahnya akomodasi hukum sehingga berakibat terjadinya konflik hak pengelolaan sumber daya alam antara Perusahaan dan masyarakat lokal, konflik sumberdaya alam ini bahkan telah menelan banyak korban baik di kalangan perusahaan sendiri maupun masyarakat.

Penegak Hukum harus bertindak aktif dalam rangka melakukan pencegahan konflik tata ruang dan sosial melalui mandat-mandat yang diembannya, seperti mandat pemantauan dan mediasi atas dugaan pelanggaran HAM. Hak asasi manusia dan resolusi konflik harusnya bisa saling melengkapi, selain itu pada saat penyelasaian konflik harus ada upaya pencegahan kekerasan dalam konflik dan kewajiban menghormati (obligation to respect), memajukan (obligation to promote), memenuhi (obligation to fullfil), melindungi (obligation to protect), serta menegakkan (obligation to enforce). 

Konflik Tata Ruang dan sosial sering terkait dengan kekhawatiran pihak yang lemah, dimana tidak terpenuhinya penyelenggaraan hak asasi manusia dengan baik. Penyelengaraan HAM yang diamanatkan kepada Pemerintah dalam undang-undang yaitu:
1.    Pemerintah bertanggungjawab dalam mengelola Potensi Konflik, 
2.    Pengakuan pada pranata Adat dalam penanganan Konflik Sosial, 
3.    Adanya Hak Publik untuk berpartisipasi, dan 
4.    Tanggung jawab Pemerintah untuk melakukan Pemulihan Hak Pasca Konflik. 

Selain itu, penataan batas yang dilakukan oleh seluruh kegiatan usaha baik Perusahaan Hutan tanaman Industri dan atau Perusahaan Kebun Kelapa Sawit harus dengan proses yang baik dan benar, sehingga diharapkan dapat mencegah dan meminimalisir Konflik Ruang dan Sosial serta mencegah tumpang tindihnya suatu area menyebabkan perbedaan penafsiran terhadap tata batas oleh para pihak dan ini menjadi Pemicu Konflik dan sengketa.