UUD 1945 merupakan konstitusi Negara Republik Indonesia yang telah di
sahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI). Saat itu Soekarno sebagai proklamator
dan bapak bangsa
menyatakan dalam pidatonya:
“Undang-Undang Dasar yang dibuat sekarang ini
adalah Undang-Undang Dasar Sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan : ini
adalah Undang-Undang dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara di dalam
suasana yang lebih tentram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih
lengkap dan lebih sempurna”.
Setelah merdeka, Indonesia memberlakukan tiga macam
konstitusi dalam empat periode, yaitu periode pertama 18 Agustus 1945 sampai 27
Desember 1949 berlaku UUD 1945. Periode kedua 27 Desember 1949 sampai 17
Agustus 1950 berlaku UUD RIS. Periode ketiga 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959 berlaku UUD 1950
yang bersifat sementara. Dan periode keempat 5 Juli 1959 sampai sekarang
berlaku UUD 1945.
Setelah kembali kepada UUD 1945
sampai sekarang konstitusi Indonesia tidak lagi mengalami pergantian. Hanya mengalami Amandemen
sebanyak empat kali, yaitu Amndemen yang pertama ditetapkan pada tanggal 19
Oktober 1999. Amandemen kedua tangal 18 Agustus 2000 dan
Amandemen ketiga tanggal 10 November 2001 serta Amandemen keempat pada tanggal 10 Agustus 2002.
Benarkah UU dan Peraturan di Buat oleh Pemerintah Untuk Kemakmuran dan Kesejahteraan Rakyat Indonesia?
Sudah tiga orde berkuasa yang bisa kita lihat, mulai dari Orde lama, Orde Baru dan Orde Reformasi. Negara indonesia dengan dasar hukum positif tertingginya adalah UUD 1945. Terori hukum positif berkembang sejak abad pertengahan dan telah banyak berpengaruh diberbagai negara termasuk indonesia sendiri, dalam teori ini mengidentikkan hukum dengan undang-undang dimana tidak ada hukum diluar undang-undang. Satu-satunya sumber hukum adalah Undang-undang. Pada dasarnya toeri hukum positif lahir bersamaan dengan munculnya negara modern, pada negara modern negara menjadi pemegang kekuasaan, kedaulatan tidak melekat pada warga bangsa (Nationals) justru melekat pada bangsa (nation).
Sudah tiga orde berkuasa yang bisa kita lihat, mulai dari Orde lama, Orde Baru dan Orde Reformasi. Negara indonesia dengan dasar hukum positif tertingginya adalah UUD 1945. Terori hukum positif berkembang sejak abad pertengahan dan telah banyak berpengaruh diberbagai negara termasuk indonesia sendiri, dalam teori ini mengidentikkan hukum dengan undang-undang dimana tidak ada hukum diluar undang-undang. Satu-satunya sumber hukum adalah Undang-undang. Pada dasarnya toeri hukum positif lahir bersamaan dengan munculnya negara modern, pada negara modern negara menjadi pemegang kekuasaan, kedaulatan tidak melekat pada warga bangsa (Nationals) justru melekat pada bangsa (nation).
UUD
1945 menganut sistem pembagian kekuasaan bukan pemisahan kekuasaan. Tidak
banyak perubahan yang dirasakan oleh rakyat indonesia ketika dasar hukum
positif yang dianut bangsa indonesia masih UUD 1945 yang sistemnya bukan
pemisahan kekuasaan melainkan pembagian kekuasaan. UDD 1945 tidak melarang
individu penyelengara negara untuk rangkap jabatan, Dalam pemisahan kekuasaan individu
penyelengara negara sangat tidak dibolehkan untuk rangkap jabatan, karena kalau rangkap jabatan akan dinilai
tidak akan bisa maksimal dan efisien dalam melaksanakan tugasnya.
Berbagai macam
kebutuhan untuk syarat bagi negara dalam
mendapatkan legitimasi oleh rakyatnya, dalam hal ini membutuhkan seperangkat
aturan atau produk hukum yang dapat
membungkus dan melindungi berbagai kebutuhan dan kepentingan negara serta
penyelenggara negara untuk mendapatkan keuntungan. Undang-Undang dirancang
sesuai selera para penguasa, dengan produk hukum atau undang-undang yang ada
ini akan menguatkan para penguasa dan mitranya guna memuluskan konsep kapitalis
liberalis pada negara indonesia ini. Yang kaya akan semakin kaya, dan
masyarakat yang miskin akan semikin sulit dan semikin tersingkirkan. Liberalisme
adalah aliran yang menekankan pada kemerdekaan individu bukan kemerdekaan
seluruh rakyat.
Sudah 53 tahun usia Undang-undang Pokok Agraria
(UUPA) No 5 Tahun 1960. Namun selama kurun waktu itu pula persoalan sengketa
tanah mengenai hak Milik dan hak kelola tak kunjung reda sampai saat ini. Bahkan
menurut Iwan Nurdin dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Eskalasi konflik
agraria meningkat pasca pengesahan UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal.
Lahirnya UUPA sebagai turunan Pasal 33 UUD 1945 merupakan upaya untuk
menggantikan UU Agraria 1870 yang merupakan warisan kolonial yang liberalis. Di
mana UU Agraria 1870 adalah pintu gerbang masuknya modal swasta asing di
Indonesia dan menghidupkan asas domein verklaring (tanah yang tidak
dapat dibuktikan kepemilikan secara formal dianggap milik negara). Dengan
demikian terjadi kemunduran dalam kebijakan agararia di Indonesia, kita
dituntun kembali pada UU Agraria 1870 yang mana merupakan warisan dan
semangat kolonial pada zaman penjajahan. Artinya, kita saat ini kembali lagi ke
zaman penjajahan kolonial-jilid kedua.
Pengingkaran terhadap UUPA yang terus berlanjut dan dengan adanya upaya
liberalisasi agraria dan menghidupkan kembali asas domein verklaring (tanah
yang tidak dapat dibuktikan kepemilikan secara formal dianggap milik negara)
ini maka menimbulkan persoalan besar di sentero indonesia seperti:
KONFLIK AGRARIA ERAT KAITANNYA DENGAN HAK KELOLA SUMBER DAYA ALAM;
- Meningkatnya jumlah Petani Indonesia atau Petani Asing yang bermodal besar menguasai Lahan/Tanah dengan luas ratusan bahkan Ribuan hektar secara individu dengan topeng legalitas atau Izin dari Pemerintah.
- Lemahnya hak kelola masyarakat adat dan budaya tradisional yang positif dimata hukum khususnya pada areal wilayah adat karena penerapan asas domein verklaring (tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikan secara formal dianggap milik negara).
- Melahirkan konflik agraria hampir diseluruh indonesia, ini erat kaitannya dengan hak kelola lahan dan sumber penghidupan.
KONFLIK AGRARIA ERAT KAITANNYA DENGAN HAK KELOLA SUMBER DAYA ALAM;
Kalau kita lihat Penyebab terjadinya konflik di bidang pertanahan di
indonesia antara lain keterbatasan ketersediaan tanah pada suatu wilayah yang
berkonflik, tumpang tindih hak milik tanah maupun hak atas pengelolaan tanah, ketimpangan
dalam struktur penguasaan tanah, inkonsistensi negara dan ketidaksinkronisasian
baik secara vertikal maupun secara horizontal peraturan perundang-undangan yang
ada kaitannya dengan hak pengelolaan tanah, praktek-praktek manipulasi dalam
perolehan hak milik tanah dan hak kelola tanah sehingga pada masa lalu dan di
era reformasi sekarang ini muncul kembali gugatan atas hak milik dan hak kelola
atas tanah, dualisme kewenangan (pusat-daerah) tentang urusan pertanahan serta
ketidakjelasan mengenai kedudukan hak ulayat dan masyarakat hukum adat dalam
sistem perundang-undangan agraria.
Tanpa ada pembaruan Undang-undang sebagai landasan hukum agraria maka konflik
tanah akan tetap ada. Karena sebagaimana diungkapkan Mochammad Tauhid (1952), “agraria
tak lepas dari persoalan tanah dan persoalan
hidup dan sumber penghidupan manusia, Perebutan tanah berarti perebutan sumber makanan,
perebutan sumber penghidupan bagi manusia. Untuk itu, orang rela menumpahkan
darah, mengorbankan segala yang ada demi mempertahankan hidup selanjutnya.
Itulah yang sebenarnya mendasari konflik agraria di Indonesia ketika
tanah-tanah yang luas dikuasai oleh individu atau perusahaan besar, sementara itu
jutaan petani kecil tidak memiliki tanah atau lahan.
Sungguh masuk akal ketika konflik agraria terus bermunculan di berbagai
daerah karena penyelesaian konflik agraria tidak menyentuh pada akar persoalannya.
Sebagai contoh, kita bisa lihat konflik agraria di Mesuji pada akhir tahun 2011
yang lalu, hingga saat ini belum terselesaikan juga karena penyelesaian
konfliknya hanya di permukaan saja, yang di lihat pemerintah hanya persoalan
kekerasan, pelaku, dan korban, Tidak menyentuh pada persoalan agraria. Makanya
tidak mengherankan ketika tahun 2012 ini, konflik agraria tetap menyala di
Mesuji. Alangkah sia-sia rasanya ketika pemerintah membentuk Tim Gabungan
Pencari Fakta (TGPF) untuk tragedi Mesuji beberapa waktu lalu dan tim ini hanya
melihat pada permukaan konflik saja. Lagi-lagi masyarakat kecil yang terzalimi.
Tidak hanya di Mesuji, konflik agraria sudah mulai merebak di sejumlah
daerah di Indonesia seperti di Sumatera Utara dan Jawa Timur. Dari data Badan
Pertanahan Nasional (BPN), sampai tahun 2011 terdapat 14.337 sengketa
pertanahan. Selain konflik antara warga dengan pihak pengusaha dan penguasa serta
dengan aparat penegak hukum, konflik juga terjadi antar sesama warga (pendatang
dengan penduduk asli, maupun warga yang pro dengan yang anti
perkebunan). Seperti yang terjadi di Sumatera Utara di mana pekerja PT
Perkebunan Nusantara (PTPN) II berhadapan dengan warga Namo Rube Julu,
Kecamatan Kutalimbaru (Kompas, 28/5/2012). Masyarakat pulau padang yang
berkonflik dengan PT. RAPP serta Konflik antara warga
tapung hulu dengan PT. RAKA. Bukan saja di Tapung Hulu, PT RAKA juga berkonflik
dengan masyarakat di Kecamatan Tapung Hilir. kemudian warga Desa Batang Kumu,
Rokan Hulu bentrok dengan PT Mazuma Agro Indonesia (MAI). Tiga rumah warga
dirusak. Konflik juga terjadi antara warga dengan PT. MAI yang menelan korban 5
orang luka akibat penembakan. Kemudian di desa bulu hala dumai juga berkonflik
dengan PT. SGP (APP Group) yang menelan satu orang korban dari pihak
masyarakat, sampai saat ini belum jelas penyelesaiannya.
Berdasarkan data Dari ScaleUp,
Riau merupakan provinsi dengan tingkat kerentanan konflik tertinggi pertama
dari Empat Provinsi yang sering terjadi konflik agraria di Sumatra. Pada tahun
2011 terdapat 34 konflik pada luas 262.877 hektar lahan di Riau, sementara di
Sumatra Selatan luas lahan yang berkonflik 192.500 hektar dan di Jambi terdapat
176.335 hektar yang diperebutkan antara warga dengan Perusahaan.
Makna politiknya adalah Rakyat yang diadu domba dengan perusahaan sebagai bentuk
ketidakmauan Pemerintah untuk melaksanakan pembaruan Undang-Undang Pokok Agraria.
Konflik agraria ini akan menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja jika
pembaharuan undang-undang agraria tidak dilaksanakan. konflik agraria di
Indonesia akan tetap ada bahkan akan terus menjadi gelombang yang semakin membesar.
Peraturan dibuat untuk dilanggar, itulah ungkapan yang pas buat para
pengusa negeri ini.